Translate

Kamis, 18 Oktober 2018

SOR BAUJAN Part 1 : MAHKAMAH

Oleh : Halim Ambiya

Wajah Kyai Makmun tampak angker. Tarikan nafasnya tak seperti
biasanya. Caranya duduk dan meneguk kopi pun berbeda. Pagi itu seolah
angin berhenti bertiup. Beranda rumahnya menjadi neraka bagiku. Aku
menangkap kekecewaan luar biasa di wajahnya. Secangkir kopi di atas meja
menjadi saksi kegelisahanku. Hmmm. Aku akan disidang. Pak Kyai marah
besar.

Detik-detik mendebarkan. Persidangan yang menyiksa
batin. Menghinakan. Menyedihkan. Dan, mempermalukan diriku sendiri. Aku
akan dihukum oleh orang yang sangat kukagumi. Aku semakin menundukkan
kepalaku. Aku kosong. Hampa. Galau. Sama sekali tak mampu menatap
matanya. Hingga tak terasa air mata ini mengalir deras. Meski mulutku
terkunci rapat. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu. Keputusan apa pun
akan kuterima. Ini salahku. Ini dosaku. Titik.

Aku tak mampu
membayangkan kekecewaannya. Rasanya tak layak duduk berhadapan
dengannya. Merasa kotor berlumpur dosa. Beliau adalah guruku. Pembimbing
ruhaniku. Dialah pengganti orangtuaku di sini, di tempat ini. Perlahan,
saat arah mataku tertuju ke bawah, kulihat Pak Kyai mengibas-ngibas
kain sarungnya. Untuk beberapa lama, aku masih menunggu. Di atas kursi
lapuk, kusam dan berdebu. Di beranda depan rumah Pak Kyai itu Mahkamah
Pondok sedang berlangsung. Ratusan mata santri mengintai dari balik
ruang asrama. Ada yang pura-pura berjalan keluar asrama, ada yang
berhamburan ke dapur hanya untuk melihat peristiwa itu. Ada pula yang
mengintip dari sudut Masjid Darurraskhin. Aku merasa terhina. Tak
berdaya.

Tak seperti persidangan lain. Persidangan kali ini harus
Pak Kyai sendiri yang memutuskan. Jika melanggar aturan ringan cukup
disidang oleh santri senior. Hukumannya paling banter kepala digundul,
disuruh membersihkan WC atau disuruh naik ke atas pohon sambil menghafal
ayat-ayat Al-Quran. Kalau melanggar bahasa, cukup bagian pengajaran
yang menghukum. Jika dilakukan santri senior cukup disidang oleh ustaz
pengasuh santri. Namun, yang kulakukan sudah kelewatan. Pelanggaran
berat. Tak termaafkan. Kesalahanku tak bisa diselesaikan di tingkat
santri senior ataupun ustaz pengasuh. Keputusannya mutlak di tangan Pak
Kyai.

“Ehmmm.”

Pak Kyai berdehem. “Mungkinkah ini
pertanda beliau akan mulai bicara?” bisikku dalam hati. Sudah lama
kutunggu, tapi tak kudengar ucapan Sang Kyai bertubuh tinggi besar itu.
Aku semakin gelisah. Pasrah. Bingung. Sedih.

Suara detak jarum
jam dinding mulai kudengar. Pertanda keheningan bermula. Sepi. Senyap.
Menunggu waktu. Lalu, tiba-tiba kudengar beliau bicara: “Anakku,
perjalananmu masih sangat panjang,” tuturnya sambil menarik nafas.
Bergetar. Bernada pelan. Sorot matanya tertuju ke arahku. Sangat serius.
“Kamu sudah tidak bisa dididik disini. Sudah tidak bisa. Sekarang aku
serahkan ke pendidikan orangtuamu lagi. Kamu harus bertanggungjawab atas
kesalahanmu. Kamu pasti tahu. Aku kecewa,” ucapnya lirih.

Duarrrr!!! Ini seperti guntur yang kilatannya kuketahu sebelumnya. Air
mataku kembali mengalir. Kini mulutku mulai terbuka. Tak kuasa menahan
tangis. Hatiku bergolak menerima tamparan ini. “Aku diusir dari
pesantren. Sekarang. Saat ini juga. Aku tak tahu. Apa kata ibuku nanti?!
Bapakku pasti marah besar,” bisikku dalam hati.

Ucapan Pak Kyai
menampar. Menusuk hatiku. Menendang keberadaanku. Melebihi tamparan
keras di pelipis setahun lalu saat aku terlambat shalat shubuh. Ini
berbeda. Kata-katanya membanting-bating tubuhku. Melempar kesadaranku.
Tak ada lagi harapan aku menghirup udara pesantren. Tamat riwayatku
disini. Aku tak diakui lagi sebagai santrinya.

“Aku minta maaf, Pak Kyai,” jawabku sambil sesenggukkan.

“Aku sudah maafkan kamu. Sekarang bukalah lembaran baru hidupmu.
Buktikan bahwa kamu bukan sampah. Buktikan bahwa kamu anak yang berguna.
Jangan ulangi lagi kesalahanmu. Medanmu di luar jauh lebih berbahaya.
Jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran. Ingatlah pesan bapakmu ini,”
sambung Pak Kyai dengan suara parau.

Aku menangis
sejadi-jadinya. Aku telah mengecewakan. Hidupku terasa hancur. Aku
diusir oleh orang yang paling aku hormati. Aku diusir dari pondok yang
telah mendidikku selama 4 tahun. Aku terusir. Tak berguna. Aku adalah
anak yang tak tahu diri. Kyai adalah sentral figur bagi santri, namun
aku berkhianat. Merusak amanah yang diberikannya.

Tubuhku seolah
mengambang. Kursi yang kududuki pun ikut mengapung. Sorot mata ku
kabur. Pandanganku mengambang tak tahu arah. Saat kesadaranku belum
genap. Tiba-tiba Pak Kyai berdiri di hadapanku.

“Aku akan selalu
memantau keadaanmu dari jauh. Sebagai orangtua, aku ingin mendengar
kabar baik tentang kamu nanti. Aku masih punya harapan kepada kamu.
Jadi, jangan kecewakan lagi. Buatlah aku bangga,” katanya pelan sambil
mengulurkan tangannya yang kekar. Aku jabat tangannya, aku cium
tangannya dengan derai airmata. Aku berusaha memeluk tubuhnya. “Maafkan
aku, Pak. Maafkan aku,” bisikku sambil memeluk erat tubuhnya. “Jadikan
ini sebagai pelajaran. Ustaz Jamal akan mengurus semua. Dia yang
mengantar kamu pulang,” katanya sambil melepas pelukanku. Beliau lalu
berjalan pelan masuk ke rumahnya.

Sejurus kemudian, Ustaz Jamal
menghampiriku sambil membawa sepucuk surat. “Sudahlah. Saya tunggu kamu
di kamar. Saya akan mengurus ini sebentar,” katanya, lalu meninggalkan
aku sendiri di kursi itu.

Aku hanya bisa berdoa sejadi-jadinya,
“Ya Allah, berilah aku kekuatan.” Tubuhku limbung, lunglai, tak berdaya
menyaksikan kekecewaan Pak Kyai karena kesalahanku.

Dengan
sisa-sisa nafas dan tenagaku, aku berjalan meninggalkan rumah Pak Kyai.
Ratusan mata menatapku. Mereka menyimpan marah, sedih, atau bahkan
cemooh dan hinaan. Kesalahanku memang tak bisa dimaafkan. Aku terima.
Aku bertanggung jawab. Dan, aku akan jalani penebusanku. Rasa maluku
melebihi rasa malu Yudistira, yang tak berdaya menjaga Drupadi. Ini
bukan lagi salah Kurawa. Aku bertanggung jawab atas dadu kehidupan yang
kupermainkan sendiri. Episode hukuman dan ramalan Krishna terjadi di
depan mataku. Aku hanyalah wayang yang tak berdaya. Aku hanyalah hamba
yang berlumpur dosa.

Jauh di lorong tergelap dan terdalam di
batinku, aku membisikan doa-doa Khidir: “Yâ man la yusyghiluhu sam’un
‘an sam’in, yâ man la yughlithuhul-masâ’il, yâ man la yubarramu bi
ilhâhil-malhîn, adziqnî burda ‘afwika wa halawata rahmatika” (Wahai Dzat
yang tak pernah terganggu pendengaran-Nya dengan pendengaran apa pun.
Wahai Dzat yang tak pernah salah dalam memberi kepada para peminta.
Wahai Dzat yang tak pernah bosan terhadap para pemohon yang selalu
meminta-minta. Berilah aku rasa sejuknya ampunan-Mu dan manisnya
rahmat-Mu)”


---BERSAMBUNG PART2---

https://www.facebook.com/search/str/%23sorbaujan/stories-keyword/stories-public

https://www.facebook.com/halim.ambiya

Sor Baujan

SOR BAUJAN (Halim Ambiya)

Hi Guys!
Ini kisah cinta seorang santri dalam mengarungi bahtera hidup. 
Di bawah pohon trembesi (Sor-Baujan), Erik menemukan hakikat cinta 
sejatinya yang menakjubkan.

Novel bernuansa Islam ini menggugah jiwa siapa pun yang membacanya. 
Cinta Erik (Thariq Abdul Matin) tampak begitu nyata. Sejak duduk di 
bangku pesantren, kuliah di Jakarta dan melanjutkan kuliah serta menikah 
di Kuala Lumpur tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya, yang 
akhirnyamenuntun dirinya kepada Sang Maha Cinta.

Pembaca diajak menyelami hakikat cinta dan lika-liku hidup. 
Erik diusir dari pesantren, ditinggal kematian kekasih, dikhianati, 
dihina dan terus menurus dalam penderitaan.

Erik menemukan jati dirinya dan berhasil memahami makna spiritual di bawah 
Pohon Trembesi (Sor-Baujan) raksasa. Dari sini dia belajat tentang hakikat 
dirinya sebagai manusia, kedekatan dengan Tuhan, dan kematangan sosial. 
Banyak konflik cinta rumah tangga, perselingkuhan, pengkhianatan, 
dan kejahatan sosial dihadapi Erik dengan kematangan jiwa yang 
dipelajari dari pesantren dan Pohon Trembesi.

Pembaca secara tidak sadar akan disuguhkan dengan pengajaran Islam 
dengan cara yang menyentuh, tidak menggurui, logis, modern, ramah, 
dan memiliki kedalaman makna. Begitu banyak tema-tema sulit agama 
dikupas secara mudah. 

Novel yang diunggah ini pernah diunggah secara bersambung di 
fanspage Tasawuf Underground (www.facebook.com/tasawufunderground). 
Sebuah komunitas religi yang mempunyai lebih dari 300 Rb followers.
 
sumber foto
http://www.cifor.org/forestsasia/?contestants=trembesi-farmer